Merajut Kekuatan dari Kaum yang Lemah


Dalam suatu buku sufi dikisahkan adanya seorang nelayan yang sangat penyabar. Suatu kali, seharian penuh ia mengail ikan tapi tidak mendapat hasil kecuali seekor. Itupun dirampas oleh seorang pemuda ketika ia hendak berangkat pulang. Karena ingin mempertahankan haknya, sang nelayan akhirnya dipukul hingga babak belur.

Nelayan tua yang tak berdaya ini tentu tak mampu mempertahankan, apalagi melawan. Ia hanya bisa menengadahkan tangannya seraya berdoa. Sang pemuda melahap ikan hasil jarahan. Di tengah menikmati lezatnya ikan panggang, tangan si pemuda tertusuk oleh duri ikan. Ia mengaduh kesakitan.

Ternyata tak hanya sampai di situ. Bekas tusukan itu bernanah. Tambah hari lukanya semakin parah. Sudah banyak tabib dan dokter dikunjungi untuk kesembuhan sakitnya, namun hasilnya nihil. Bakteri yang bersarang di tangannya sudah telanjur merasuk ke daging dan tulang. Rasa sakitnya luar biasa. Atas saran dokter akhirnya tangan pemuda itu diamputasi, dipotong sebatas lengan. Tampaknya usaha itu sia-sia. Bakteri telah menjalar ke mana-mana. Kali ini sang pemuda harus rela kehilangan tangannya.

Pemuda yang awalnya gagah perkasa itu dirundung malang, meratapi nasib tak henti-henti. Ia mulai sadar, kemudian mencari-cari apa sebabnya hingga Allah memberi adzab seperti itu. Akhirnya pikiran bawah sadarnya mengingatkan sebuah rekaman peristiwa yang terjadi beberapa saat lalu, ketika tangannya merampas ikan dan memukuli sang nelayan hingga babak belur.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, sang pemuda lari dan terus berlari menemui sang nelayan yang pernah dia aniaya. Ia hanya ingin agar si nelayan merelakan ikan yang pernah dirampasnya, dengan ganti rugi 10.000 dirham. Kesadaran dan penyesalan yang murni telah meluluhkan hati sang nelayan. Iapun akhirnya menghalalkan dan memaafkan. Seketika itu bakteri-bakteri yang menempel di tangan sang pemuda rontok, berguguran. Akhirnya, dengan kuasa Allah Swt, tangan yang sudah putus itu kembali utuh seperti sedia kala. Wallahu a'lam.

Kisah di atas setidaknya memberi banyak pelajaran bagi kita. Salah satu yang terpenting adalah bahwa Allah Swt sangat dekat dengan orang-orang yang lemah atau dilemahkan, yang dalam istilah al-Qur'an disebut dhu'afa dan mustadh'afin. Kedua golongan ini, di balik kelemahannya ternyata menyimpan kekuatan yang luar biasa. Oleh karenanya, ummat Islam jangan coba-coba mempermainkan dengan menganggap enteng dan memandang mata sebelah. Allah berfirman:

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi." (QS al-Qashash: 5)

Ada beberapa golongan yang termasuk dalam kelompok orang-orang lemah ini.

Pertama adalah kaum perempuan. Dalam lintas peradaban, perempuan selalu ditempatkan dalam posisi tersudut. Tidak sebuah bangsapun di dunia ini yang menempatkan wanita di atas kaum laki-laki, dari dulu hingga sekarang.

Karena perempuan dimasukkan dalam kelompok lemah, maka Allah Swt membela mereka. Kedekatan Allah dengan kaum perempuan ini dibuktikan dengan adanya satu organ tubuh yang tidak dimiliki oleh seorang lelakipun, yaitu rahim. Perlu diketahui bahwa kata rahim merupakan salah satu nama dan sifat Allah Swt. Artinya, Allah memberi nama khusus, yaitu Asma-Nya kepada kaum perempuan satu organ tubuh yang khusus diperuntukkan baginya.

Kelebihan perempuan daripada lelaki terletak pada kedekatan dengan Allah Swt. Seorang ibu yang berdoa untuk anaknya, akan lebih didengar dan diperhatikan oleh-Nya. Demikian pula jika seorang ibu marah atau membenci anaknya sehingga ia mengeluarkan kata-kata kutukan, maka kutukan dan kemarahannya didengar pula oleh-Nya.

Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah, pernah suatu kali Rasulullah ditanya tentang penghormatan kepada kedua orang tua, Rasulullah menjawab, "Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu." Ibu disebut tiga kali, baru setelah itu ayah. Dalam riwayat yang lain disebutkan syurga itu terletak pada kedua kaki ibu.

Selain perempuan, Allah menyebut beberapa golongan yang termasuk kelompok dhu'afa dan mustadh'afin. Mereka terdiri dari anak yatim, fuqara dan masakin, ibnu sabil (orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan), para tawanan perang, orang yang tertimpa musibah, dan orang yang meminta-minta. Mereka semua harus mendapat perlindungan dari negara dan bantuan dari manusia.

Naas nasib mereka. Orang-orang yang merasa mampu ternyata mengeksploitasi mereka sebagai objek yang harus diperas keringatnya. Mereka dipandang sebagai komoditas murahan yang bisa diperlakukan semaunya. Jadilah mereka kaum buruh yang sangat minim gaji atau pendapatannya. Jadilah mereka pembantu rumah tangga yang hak-haknya tak jelas dan selalu dilanggar oleh majikan. Jadilah mereka anak-anak jalanan yang tak jelas jaminan kelangsungan hidupnya. Jadilah mereka pekerja-pekerja

kasar yang sulit meningkat kesejahteraannya.

Kelompok ini selalu menjadi objek pemerasan. Jika mereka bekerja, tak berimbang yang diterima dengan yang dikeluarkannya. Begitu banyak keringat yang dikeluarkan untuk upah yang tak seberapa. Tak imbang risiko yang diterima dengan jaminan yang bisa didapatkan. Dan tidak banyak yang membela ataupun memberikan pertolongan.

Karenanya Allah sendiri selalu tampil menjadi pembelanya. Biarlah orang yang congkak, orang-orang kaya, dan para penguasa melecehkan keberadaan kaum lemah, tapi Allah sangat besar kepedulian-Nya. Bahkan Allah berkehendak untuk mengangkat derajatnya.

Pada kelompok dhu'afa dan mustadh'afin ini tersimpan sebuah potensi besar yang apabila digali akan menjadi suatu kekuatan luar biasa, sebagaimana firman Allah di atas. Karenanya, terlalu sombong mereka yang memandang keberadaan kaum lemah dengan sebelah mata.

Nabi Muhammad saw adalah salah seorang Nabi yang sangat memahami hal ini. Beliau tahu betul bahwa di balik kelemahan masyarakat akar rumput ini terdapat suatu kekuatan. Karenanya, mereka kemudian dibina, dihimpun, dan disatukan dalam barisan Islam. Tak lama kemudian sejarah membuktikan bahwa Kaisar Romawi dan Kisra Parsi dapat ditaklukkan di bawah panji yang dimotori oleh kelompok dhu'afa ini.

Tak heran jika dalam kesehariannya Rasulullah lebih banyak berada di tengah-tengah kaum lemah daripada di dalam komunitas the haves (orang-orang kaya). Logikanya sederhana, karena merekalah yang paling butuh perlindungan, pertolongan, dan sentuhan kasih sayang. Lebih jauh dari itu, mereka sebenarnya adalah kelompok potensial. Dengan sedikit sentuhan pembinaan dan pemberdayaan, mereka akan menjadi kelompok kuat yang suatu saat bisa bersaing dengan yang lebih kuat.

Kedekatan Rasulullah di tengah kaum lemah ini ditegaskan sendiri sebuah haditsnya, "Carilah aku di tengah-tengah kaum dhu'afa. Bukankah kalian ditolong dan diberi rezeki karena bantuan orang lemah di antara kalian?"

Orang yang tidak memberi perhatian kepada golongan ini, dalam Islam disebut pendusta agama, bahkan dalam ayat yang lain dikatagorikan sebagai pencemooh agama. Allah berfirman:

"Kecelakaanlah bagi setiap pencemooh, yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu akan mengekalkannya. Tidak, tetapi dia akan dilemparkan ke dalam (api) Huthamah."(QS al-Humazah: 1-4)

Sayang, keberadaan kaum lemah yang nyata-nyata merupakan bagian terbesar dari kaum Muslimin di negeri ini, tidak dilihat sebagai sebuah kekuatan oleh para pemimpin Islam. Para elite itu hanya asyik bermain di atas, di kalangan kampus dan kaum terpelajar. Sementara kaum perkotaan dan para petani gurem di pedesaan tidak mendapatkan sentuhan. Akibatnya, kekuatan besar mereka diambil oleh orang lain, bahkan digunakan untuk melawan dan memusuhi Islam.

Sudah saatnya para pemimpin Islam menyadari kelemahannya selama ini. Para ulama harus mendekatkan diri dengan para dhu'afa dan mustadh'afin. Demikian juga para pemimpin Islam, baik yang terjun politik maupun yang lain.


 

<<  back to ISHLAH