BENO

 

 

Di langit matahari tinggal separuh, perlahan ditelan horizon bumi, dan kemudian menghilang. Hanya tampak binar-binar sinar lelah, lalu redup. Bintang-bintang mulai menampakkan diri. Langit menanti datangnya bulan. Sebuah siklus mulai berlangsung. Angin peralihan bertiup membisikkan kata-kata "pulang" di telinga Parto. Parto bangun tiba-tiba dan gelagapan melihat hari sudah mulai beranjak petang. Ia buru-buru bangkit dari posisi berbaringnya, menggamit caping, dan bergegas menghampiri Beno yang ada di ujung lapangan sana. Beno tengah asyik merumput tanpa perduli malam akan segera tiba. Ia hanya tahu malam jika Parto sudah menyuruhnya untuk pulang kembali ke kandang. Dan hingga kini Parto belum meng-isyaratkan apa-apa padanya.

Parto menepuk punggung Beno perlahan. Beno terjingkat dan menoleh. Meringis ia melihat Parto sedang berkacak pinggang di belakangnya. Muka Parto kelihatan jengkel melihatnya tampak acuh memamah biak sedari tadi. Beno tahu tidak dapat menawari Parto sejumput rumput, jadi ia diam saja.

 

"Dasar kambing nakal! Kenapa kamu tidak mem-bangunkan aku dari tadi. Pasti bapak kebingungan mencariku. Kamu tahu kan setelah ini pasti aku akan dimarahi seperti biasa lantaran pulang terlambat?! Kamu ini memang manja!" Gerutu Parto. Ia mengenakan capingnya dan menyelipkan seruling kecil di saku celananya.

 

"Aku akan masih pingin main di lapangan, Tuan!! Habis di kandang, pesing!!"

 

"Ayooh pulang!" Parto menepuk lagi pantat Beno. Setengah enggan, Beno beranjak. Rumput hijau di sebelah kaki depan kanannya belum sempat tersentuh. Ia takut besok rumput lezat itu hilang karena kedahuluan oleh kambing yang lain. Kali ini Parto membentak, Beno mengangkat kaki dan berlari. Melintasi lapangan berumput. Anak-anak yang tadi bermain bola di sini sudah pulang. Beno nyengir sendiri. Ia heran mengapa manusia tidak pernah mengajaknya bermain bola, padahal ia kan punya empat kaki?

"Ayooh.., cepetan!" Terdengar suara Parto dari be-lakang.

Beno manyun. Ia memang menyadari bahwa ia nakal. Ia sering membuat Parto, tuannya, uring-uringan karena ting-kahnya. Parto memang sering memarahinya, namun tidak per-nah menggunakan jalan kekerasan. Beno tahu Parto sayang padanya. Saking sayangnya, Parto sampai tidak tega mengait-kan tali pada sekeliling leher Beno, seperti biasa yang dilaku-kan manusia pada setiap kambing peliharaannya. Parto sudah sejak lama menjadi majikan Beno. Beberapa tahun yang lalu, Beno datang ke rumah Parto dengan diantar sebuah mobil pick-up. Pada mulanya, setiap malam Beno selalu menangis. Ia teringat kehangatan ibu dan canda tawa dua saudaranya yang lain. Ia masih sangat kecil tatkala seorang pedagang pa-sar memisahkannya dari keluarganya. Namun waktu terus berjalan, Beno belajar untuk menyukai jalan hidupnya yang baru. Ia kembali belajar mengenal "majikan", Parto. Setiap sore Parto selalu menggembala-kannya ke lapangan dan ber-main bersama. Suara seruling yang dimainkan Parto indah, meskipun sebenarnya ia paling hanya bisa memainkan lagu utuh maksimal tiga buah. Tuannya itu selalu ketiduran ketika menggembalakannya. Dan setiap bangun ia pasti akan sene-wen. Kalau begitu siapa yang harus disalahkan?!

Tapi bagaimanapun juga Beno sangat sayang pada Parto. Ia kini adalah satu-satunya keluarganya bagi Beno.

"Mbeeekkk!!!" Beno berteriak. Ia melihat beberapa anak kecil, bersarung, tengah berlarian menuju masjid di ping-gir desa. Beberapa dari mereka berteriak dan tertawa-tawa. Beno ketakutan. Bukan melihat anak itu, melainkan obor bam-bu yang dibawa mereka. Obor mengingatkannya pada takbir-an. Dan takbiran berarti pula Idul Adha. Beno yakin sebentar lagi umat Islam akan memperingati datangnya Idul Adha, ka-rena beberapa bulan yang lalu mereka baru saja merayakan Idul Fitri. Meskipun kambing dicap orang sebagai makhluk bo-doh, tapi ia cukup pintar juga untuk mengetahui bahwa dalam satu tahun hanya ada satu Idul Fitri dan Idul Adha yang ber-langsung secara bergantian. Bila kemarin sudah merayakan Idul Fitri, tentu besok adalah Idul Adha. Sungguh pemikiran yang mudah bukan?!

Tanpa sadar Beno bergerak agak menjauh dari kum-pulan anak-anak itu.

Sembari melangkah, Beno sibuk berpikir. Idul Adha adalah masa Qurban. Berekor-ekor hewan ternak akan disem-belih: unta, lembu, kambing… Serr, darahnya mendesir. Kambing!! Ingin menangis rasanya mengingat dirinya adalah kambing, dan mungkin saja nyawanya sedang terancam kali ini. Bila tahun-tahun kemarin ia terus lolos dari parang, itu pasti dikarenakan ia belum cukup umur untuk disembelih. Ma-nusia-manusia itu masih juga tahu etika. Tapi sekarang ia su-dah dewasa. Tidak ada alasan untuk lari.

 

"Hu..hu…, aku kepingin jadi manusia saja! Ini tidak adil!!" Rengek Beno dalam hati. Andai saja Beno bisa mem-buat Parto tahu apa yang dirasakannya saat ini. Tapi bagai-mana mungkin?! Bahkan Parto yang hidup selama tiga tahun saja belum bisa memahami bahasa kambing yang cukup sim-pel: mbeek, mbek, dan mbeeeeek!

"Lho…, Beno! Mana si Parto!?" Beno dikagetkan su-ara di depannya. Ternyata Beno sudah sampai di rumah. Dan yang bersuara tadi adalah Pak Parjo, bapak Parto. Beno me-nyurut mundur. Hingga detik ini juga Beno masih merasa se-gan dengan Pak Parjo yang bertubuh gempal, kuat, dengan cambang yang lebat. Melihatnya, Beno jadi teringat jagal pa-sar. Beno mundur teratur. Konon Pak Parjo ini terkenal galak. Pak Parjo yang selalu berpakaian tradisional ala Madura dan berkumis tebal seperti Pak Raden. Mayoritas anak-anak kecil di kampung Sidomoyo ini takut padanya.

"Bapak! Heh..heh..!" Parto terengah-engah. Ia mem-bungkukkan badannya sembari mencoba menarik napas pan-jang. Tubuhnya berkeringat. Ia rupanya berlari mengejar Beno tadi. Beno melirik, ada bekas tanah di paha Parto sebelah ka-nan. Ada memar pula di sana. Tuannya pasti terjatuh tadi. Da-sar ceroboh!

"Kamu selalu saja pulang terlambat! Ambil air wudlu sana, kita sholat berjamaah di mushola Pak Nur!" Perintah Pak Parjo. Parto hanya menurut, tanpa berkomentar. Bahkan anak sendiri saja ketakutan pada bapaknya. Masih untung ia tidak diceramahi panjang lebar oleh bapaknya terlebih dulu. Jangan sampai bapaknya berubah pikiran ataupun ingat bah-wa biasanya ia akan marah pada saat-saat seperti ini. Parto beranjak menuju sumur, masih dengan napas ngos-ngosan. Sedangkan Pak Parjo membalikkan badan kembali masuk ke dalam rumah. Seperti biasa Beno hanya diacuhkan saja. Bia-sanya ia akan melangkah masuk ke kandang dengan sen-dirinya.

Tiba-tiba mata Beno membulat. Ia melihat sebilah pa-rang menggantung di sabuk belakang Pak Parjo. Bulu-bulu-nya langsung berdiri. Kini ia kelihatan seperti landak. Tanpa sadar ia berteriak, "Mbeeekkk!!!!"

Pak Parjo berbalik. Ia memandang Beno heran. Ke-ningnya bertaut sehingga alisnya yang tebal hampir memben-tuk sebuah garis lurus sempurna.

"Apa?"

Beno segera berbalik dan melarikan diri secepatnya. Ia mengitari rumah, melewati tiang-tiang jemuran, menuju ba-gian pojok pekarangan. Ia hampir saja menabrak tiang jemur-an. Kubangan besar sisa hujan tadi siang dilewatinya begitu saja, hingga tubuhnya menjadi kotor lagi.

 

"Kandang….! Kandang…! Tolong!!" Beno kalap.

**************

 

"Kamu kok sedari tadi murung terus, Ben?" Tanya Indun, sesama kambing dan satu-satunya teman di kandang milik keluarga Pak Parjo. Hanya saja umurnya lebih tua sekitar satu tahun dari Beno. Beno menganggapnya seperti kakaknya sendiri. Bukan semata-mata karena ia lebih tua dari Beno, tetapi juga karena ia lebih bijaksana.

 

"Besok kan hari Idul Adha. Akan ada pembantai besar-besaran! Bagaimana aku bisa tenang bila membayang-kan parang akan menggorok leherku nantinya? Aku benar-benar takut!" Beno mendongak ke atas -melalui celah-celah palang kayu- memandang langit. Bulan kini sudah tampak.

Indun menghela napas. Ia tahu persis apa yang dirasakan oleh Beno. Ia sendiri sudah pernah mengalaminya. Ia menjajari tubuh Beno, dan menjilat-jilat tubuh Beno dengan penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga Beno masih muda. Dan sampai saat ini yang ada dalam pikiran Beno hanya sebatas bersenang-senang saja. Jika pikiran tentang Qurban mengganggunya, itu bisa dimengerti.

"Ben.., kamu percaya dengan takdir, bukan? Kita diciptakan sebagai makhluk hidup, yang pasti akan mati di kemudian hari. Bangsa manusia, kambing, ataupun semut pun suatu saat akan diambil ruhnya oleh Allah. Bila kita ditakdirkan mati dengan cara disembelih, mengapa kita harus mengelak? Bukankah setiap makhluk menjalani hidup seperti yang telah digariskan oleh alam?"

Beno menoleh menatap Indun. Matanya berkaca-kaca. Ia menggelengkan kepalanya.

"Tapi Allah tidak adil!! Kita ditakdirkan mati tanpa ada perlawanan sama sekali. Disembelih saat Qurban, kita seakan tidak punya pilihan. Benar-benar tidak adil! Sedangkan manusia bebas hidup seenaknya. Tidak ada satu pun ciptaan Allah yang bisa mengatur hidup mereka. Mereka seakan bebas menentukan cara mati apakah yang mereka inginkan. Aku iri! Mereka tentunya tidak pernah mengalami ketakutan seperti bangsa kita. Memangnya enak apa disembelih!?"

"Lho.., bukannya terbalik?! Seharusnya kita mensyukuri bahwa kita hanya diciptakan menjadi seekor kambing. Jadi manusia itu sulit lho, Ben! Banyak cobaannya! Ia harus selalu bersikap dan beramal mulia, jika tidak mau masuk ke neraka. Padahal mereka juga dibekali oleh nafsu dan selalu saja digoda oleh syaithan. Itu yang memberatkan mereka di timbangan amal di akhirat nanti. Sedangkan kita?! Kita tidak punya tanggung jawab yang berat, mesipun itu juga berdampak pada kebebasan yang serba terbatas. Kita diciptakan juga semata-mata untuk membantu manusia. Daging kita dimakan oleh manusia untuk pertahanan hidup mereka. Lagipula justru dengan menjadi binatang Qurban, kita seharusnya merasa terhormat. Kita mati demi menunaikan kewajiban manusia pada Allah. Kita ikut berperan dan mem-bantu mereka. Jangan salah kira!"

Beno menjadi resah. Ia berjalan mondar-mandir me-ngitari kandang dengan bingung. Ia masih belum yakin.

 

"Kamu keberatan bila harus berpisah dengan Parto, ya?" Indun menebak-nebak.

Beno mengangguk lemah, nyaris tanpa mengeluarkan suara.

"Suatu saat Parto akan mengerti alasannya. Setiap perjumpaan pasti akan diakhiri dengan perpisahan. Setiap manusia dibekali kemampuan untuk menahan emosi. Aku tahu Parto akan kehilangan dirimu. Tapi kehilanganmu bukan berarti ia akan putus asa begitu saja."

Beno menggelengkan kepala. Ia benar-benar tidak tahu harus bersikap apa.

***********

Pagi-pagi sekali -bahkan Beno belum yakin ia sudah terbangun dari tidurnya- Parto sudah menyembulkan kepala-nya di balik pintu kandang. Ia sudah mengenakan caping dan celana belelnya. Beno melongok ke luar, matahari masih malu-malu. Beno mengernyit heran. Tidak biasanya Parto me-ngunjunginya sepagi ini.

"Sekarang hari Minggu, sekolah libur, jadi aku lebih mempunyai banyak waktu untuk bermain bersama." Parto masuk ke kandang. Aku berdiri dengan segera. "Tadi Pak Narto datang. Ia minta tolong agar rumput pengganggu di sawahnya dicabuti. Kita bareng-bareng, yok, pergi kesana! Tapi inget, cuma rumputnya saja lho yang boleh dimakan! Kamu tidak boleh mengusik padi Pak Narto!"

Beno menoleh ke samping kanannya. Ia belum meng-ucapkan salam pada Indun. Sebenarnya Beno ingin me-nawarinya untuk ikut. Tetapi Indun selalu menolak dengan alasan ia sudah tua dan tidak bisa berlari-lari sepertinya lagi. Masa untuknya bersenang-senang sudah usai, begitu katanya. Indun hanya menetap di dalam kandang, hingga bisa jadi ia lupa bagaimana bentuk matahari. Engsel kakinya malah mungkin sudah mulai menjamur. Indun selalu bergantung pada rumput-rumput segar yang dibawa Parto, tanpa merasa perlu untuk melihat dunia luar. Sebagai ganti rasa keingin-tahuaannya terhadap perkembangan dunia luar, ia selalu bertanya pada Beno. Apakah anak-anak kecil itu masih suka bermain bola di lapangan, sedangkan anak-anak perempuan bermain gobak sodor di tepi lapangan? Indun selalu me-nanyakan hal yang sama dari waktu ke waktu. Seakan-akan hanya hal itulah semata-mata yang mengusik keingintahuan-nya.

Tapi Beno kaget, Indun tidak ada di tempatnya. Aneh…, apakah kali ini Indun memutuskan untuk keluar dari kandang ya? Kok tidak biasanya….

"Ooh.., kamu mencari-cari si Indun, ya? Tadi pagi buta, Wak Haji mengambil Indun untuk dijadikan binatang Qurban. Masa kamu tidak dengar?" Parto seperti dapat membaca apa yang tengah dipikiran Beno.

Beno ternganga. Jadi tadi malam itu adalah kali terakhir pertemuan dengan Indun? Mengapa hanya Indun yang dibawa, sedangkan ia dibiarkan tetap meringkuk dalam kandang?

"Semua kehidupan makhluk itu tergantung dari takdir yang telah digariskan oleh Allah. Bila kita seharusnya mati hari ini, maka kita harus menerimanya dengan ikhlas. Jangan sekali-kali menyalahkan keadilan yang diberikan oleh Allah! Karena keadilan itu berbeda bagi tiap makhluk-Nya. Bagaimanapun juga sikap iri dan tidak puas dengan dirinya sendiri itu selalu ada dalam tiap individu. Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau dari rumput kita sendiri. Kita ditakdirkan sebagai kambing, karena Allah merasa itu jalan yang terbaik untuk kita. Kita mati disembelih itu juga sebenarnya merupakan suatu berkah dari Allah. Mati dan hidup kita adalah kuasa Allah. Kita hanya perlu memikirkan bagaimana cara mengisi hidup. Kita mati dalam rangka mengharumkan nama Islam. Bukankah seharusnya kita bangga?!"

Beno teringat kata-kata terakhir dari Indun, dan ia meneteskan air matanya.

 

"Selamat jalan, Ndun!" Bisik Beno dalam hati. Ia di-giring Parto untuk keluar dari kandang.

Matahri bersinar cerah. Sungguh sayang bila Beno menghabiskan waktu dengan bersedih. Ia mencoba untuk tersenyum. Ia yakin Indun tidak akan senang bila melihat Beno menangisi kepergiannya terus-menerus. Benar kata Indun, setiap perjumpaan pasti diakhiri oleh perpisahan. Indun adalah salah satu sahabat terbaiknya. Ia merasa kehilangan, tapi ia tahu ia harus belajar merelakan kepergiannya. Beno juga berharap Parto akan sepertinya pula, saat tiba saatnya ia akan diantar ke Rahmatullah. Tahun depan atau mungkin masih beberapa tahun lagi. Beno hanya merasa harus memanfaatkan sisa waktunya sebaik mungkin. Memang benar perkataan Indun; yang harus kita pikirkan hanyalah bagai-mana cara mengisi waktu hidup kita. Karena hidup dan mati kita adalah keputusan Pencipta kita.

"Ayooh…, cepetan! Kamu itu kok selalu lelet gitu, sih?!" Parto menghentakkan kakinya.

Beno terjingkat dan mulai berlari. Di belakang Parto mengejar. Beno tersenyum, ia tidak pernah bisa terkejar oleh Parto.

Di kejauhan, segerombolan anak-anak memakai kain sarung sedang berbaris rapi. Mereka tentunya baru saja pulang dari shalat Shubuh berjamaah di masjid. Beberapa anak masih ada yang membawa obor. Mungkin hari ini adalah gladi resik takbiran.

Beno tersenyum. Ia tidak menghindar seperti dulu. Kini ia sudah tak takut lagi.

-----oo------

Yogyakarta, 1 Maret 2000

[Galang Lutfiyanto]

 

 

 

<<<  back to ISHLAH