CINTA HAKIKI

(bagian kedua)

…………………

Allah Maha Pengasih
Allah Maha Pengampun
Cintai ilahi cinta yang hakik
Subhanallah…………………
["Kembali" by Raihan]

 

ila kita telah memahami makna tulisan sebelumnya (pada edisi sebelumnya-red.), maka kita tak akan merasa asing dengan sepenggal syair nasyid di atas. Kita tak akan bertanya-tanya lagi tentang apa yang dimaksud dengan cinta yang hakiki. Di dalam pikiran kita mungkin langsung teringat dengan salah satu firman-Nya di dalam QS At Taubah : 24, yang artinya kurang lebih demikian:

"Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, sanak keluarga, harta yang telah kamu usahakan, perniagaan yang kamu takuti kerugiannya dan tempat-tempat tinggal yang kamu sukai, itu semua lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya serta melaksanakan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan urusan-Nya (azab-Nya). Dan Allah sekali-kali tidak akan menunjuki orang-orang yang fasik."

Dalam ayat tersebut jelas bahwa manajemen cinta menurut Islam. Skala prioritasnya sangat jelas. Skala yang pertama adalah cinta pada Allah (mahabbatullah), selanjutnya cinta pada rasul (mahabbaturrasul), kemudian diikuti cinta pada jihad (mahabbatujjihad), setelah itu barulah cinta akan keluarga, harta, dan hal-hal yang bersifat materi dan duniawi.

Dalam pengembaraan hidup manusia di permukaan bumi ini, mereka terkadang mencari kebahagiaan dan kenikmatan menurut pendapat dan caranya masing-masing. Ada yang beranggapan sentrum kebahagiaan terdapat pada materi yang melimpah ruah, maka berusahalah ia menumpuk harta sebanyak-banyaknya.

Ada yang menganggap kebahagiaaan berpusat pada kekuasaan, maka berjuanglah ia memperoleh kekuasaan yang diinginkannya. Kemudian ada pula yang berpikiran pusat kenikmatan itu pada cinta kasih dua sejoli yang memadu janji, maka berusahalah ia mencari kepuasannya. Tetapi ada pula yang memilih jalan yang lain, kebahagiaan hakiki tidak pada materi, tidak pada pangkat dan juga tidak pada kenikmatan cinta buta yang taat pada syahwat dan birahi, melainkan pada kekayaan rohaniah, dengan memilih jalan Allah, jalan iman dan taqwa yang diajarkan-Nya dalam kitab-Nya, dengan pengertian memfokuskan seluruh rasa cinta pada Allah, Rab seru sekalian alam.

Cinta menurut Ibnu Qayyim, mengharuskan seseorang yang sedang terpanah olehnya untuk mengkhususkan cintanya kepada yang ia cintai. Juga hendaknya ia tidak menyekutukan cintanya terhadap kekasihnya terhadap yang lain. Kata Ibnu Qayyim, "Seseorang tidak membagi-bagi cintanya secara adil." Prinsip ketunggalan cinta ini diterapkan oleh Ibnu Qayyim, hanya kecintaan kepada Allah semata. Ucapannya mengenai hal ini, "Dalam kalbu seseorang tidak mungkin terdapat dua cinta. Demikian halnya di langit pun tidak terdapat dua Tuhan."

Ketunggalan cinta atau mahabbatullah, bukanlah sembarang cinta, melainkan cinta yang menempati kedudukan yang tertinggi di atas segala cinta. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa bagian Ilmu Suluk, mahabbatullah adalah sebesar-besar kewajiban iman, sebesar-besar pokok dan setinggi- tinggi azas. Bahkan ia merupakan pokok dari segala amal dari amal-amal iman dan keagamaan, seperti halnya pengakuan akan keesaan Allah adalah pokok dari segala perkataan yang berkaitan dengan iman dan agama. Justru setiap gerakan pada wujudnya adalah memancar dari mahabbah kepada-Nya. Pada pokoknya seluruh amal-amal iman tidaklah terbit selain dari mahabbah yang terpuji, yaitu mahabatullah, cinta pada Allah. Dan ini merupakan ciri yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman (Q.S. Al Baqarah : 165)

Karenanya wajar jika orang beriman mempunyai prinsip "Sami’na wa atha’na" dalam menghayati cintanya pada Allah. Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mencintai apa yang dicintai Allah dan benci terhadap apa yang dibenci Allah, yang kesemuanya itu disalurkan dengan jalan mengikuti petunjuk yang telah dicontohkan pesuruh-Nya, Rasulullah saw. Firman Allah Swt :

"Katakanlah : Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah) niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS Ali Imran : 31]

Dan sebagai bukti kongkret penghayatan dari mahabbah adalah rela berkorban dan berjihad di jalan Allah, karena itu adalah perbuatan yang dicintai Allah (Ash Shaff : 4).

Orang yang cinta dan dicintai Allah akan berjihad di jalan-Nya tanpa takut celaan dan cemoohan manusia. Itulah salah satu puncak mahabbah. Hingga seorang pecinta yang setia dan patuh, akan berjihad dan berkorban dengan semua yang dimilikinya untuk mencapai kasih yang ia cintai, yakni Allah Swt. Yang pada akhirnya nanti Allah akan melindunginya. Sebagaimana yang dinyatakan Nabiullah saw. dalam hadits Qudsi, Allah berfirman :

"Siapa yang memusuhi seorang kekasih-Ku, maka sungguh aku menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekat kepada-Ku seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih aku sukai daripada menjalankan apa-apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan selalu hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan menambah amal-amal yang sunnah, sehingga Aku kasih padanya, maka apabila Aku telah kasih kepadanya, Aku sebagai pendengar yang ia mendengar dengannya, dan penglihatan yang ia melihat dengannya, dan tangan yang digerakkannya, dan kaki yang ia berjalan dengannya. Dan bila ia meminta pasti Aku memberinya, dan bila ia memohon perlindungan pasti Aku melindunginya." [H.R. Bukhari]

Seorang pecinta seperti terungkap dalam hadits di atas, akan selalu ridha terhadap keputusan dan kehendak Allah. Karena kala itu keimanan dan ketauhidan telah terhunjam kuat dan berdekap mesra dalam kalbunya. Inilah yang terdapat dan terjadi pada diri para sahabat, ulama salaf, dan para tabi’in. Tekad, pengorbanan, dan perjuangan mereka sangat luar biasa karena dilandasi oleh pemahaman yang tinggi dan murni tentang kecintaan pada Allah.

Lain halnya dengan tekad kita saat ini. Tekad yang membulat mencintai sistem budaya Barat, dengan memuseumkan syariat Islam. Hingga tidak mengherankan, jika jumlah kita yang 100% hanya bentuk yang mengambang sifatnya. Artinya kalau kita berpatokan secara kuantitatif kita memang besar, tetapi bila kita berpatokan secara kualitatif, ummat Islam itu seluruhnya hanya berkisar 10%. Kalau kita lihat dari yang mulai mampu membaca Qur’an, berapa orang? Kemudian yang mampu menerjemahkan, berapa orang? Dan terutama yang mampu mengamalkannya, berapa orang? Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi harus pula diamalkan dalam kondisi apapun. Antara kita dengan sahabat-sahabat Rasulullah terdapat kondisi yang sama, Allah yang kita yakini sama, Nabi dan kitab yang diyakinipun sama, tetapi mengapa hasil yang kita peroleh jauh berbeda? Berikut ini ada beberapa faktor penyebab keadaan kita seperti sekarang ini :

  1. Jauhnya Ummat Islam dari Al Qur’an dan Sunnah

Al Qur’an tidak menjadi ‘ruh’ dalam hidup kita, padahal seharusnya Qur’an itu senantiasa ditadabburkan untuk kemudian diamalkan. Pada ‘Muktamar’ Misionaris V, Zummer mengatakan, "Kerja hari ini bukan mengkristenkan ummat Islam, tetapi jauhkan mereka dari Qur’an dan sunnah, jadikan mereka tidak bangga dengan Nabi Muhammad. Dan jauhkan mereka dari sejarah Islam, jadikan mereka malu mengakui ke-Islamannya, buatlah mereka jauh dari ulama-ulama mereka."

Mari kita tengok keadaan tubuh ummat kita saat ini, adakah hasil ‘wasiat’ Zummer di kalangan generasi kita dan anak-anak Islam? Di samping itu yang membuat ummat ini jauh dari Qur’an ialah perlakuan kita terhadap Qur’an itu sendiri, di antaranya :

  1. Mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil (Al Baqarah : 42).
  2. Iman kepada sebagian ayat dan ingkar kepada sebagian yang lain (Al Baqarah : 85).
  3. Menjadikan Qur’an sesuatu yang diacuhkan (Al Furqan : 30).
  4. Sebagai sarana hiburan (Yaa Siin : 69)
  5. Memperolok ayat dan kandungan Qur’an (Al Kahfi : 106)

Begitu pula halnya keberadaan sunnah. Fungsi Rasulullah adalah menjembatani antara ummat dengan Allah, manusia pilihan ini wajib dijadikan cermin bagi ummat Islam. Tetapi apa yang kita lihat pada tubuh ummat ini? Ternyata Beliau tidak dijadikan teladan universal.

Pergeseran keteladanan ini akibat dominasi Barat yang senantiasa dilancarkan ke dalam tubuh ummat Islam, sehingga kita malu untuk ‘berbaju’ sunnah Rasul. Cara kita makan, sampai cara berpakaian. Cara kita menikah melalui proses pacaran. Cara kita menyandang nama sampai memilih pendidikan. Cara orang-orang tua kita memandang ibadah hanya di masjid saja, sampai cara kita dan adik-adik kecil kita menjagokan artis dan aktor dalam pola kehidupan (Astaghfirullah, penulis termasuk di dalamnya). Dan pada akhirnya terbukti juga apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Abduh, "Al Islam Mahjubun bil Muslimin."(Islam itu tertutupi oleh orang-orang Islam sendiri), karena ummat Islam kurang sungguh-sungguh mencintai Rasul. Karena bila Beliau salah satu cinta kita, berarti kita senantiasa dan selalu berpegang teguh kepada perintahnya, mengikuti jejaknya dan menjauhi larangannya. Kasih dengan hati, mengikuti sunnah dengan sebaik-baiknya dan menjauhi larangan-larangannya, itulah sebagai bukti cinta pada Rasulullah saw. (baca QS Al Hasyr : 7).

  1. Rasa Rendah Diri
  2. Kurang mampunya kita menerjemahkan konsep Islam dalam kehidupan, sehingga apabila ditanyakan apakah Islam itu, banyak di antara kita tidak mampu menjawab. Karena cara kita memandang Islam hanya sebagai ritual yang rutinitas saja, yang kering tanpa ‘ruh’, hanya dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji belaka. Aspek-aspek lain kita anggap tidak berkaitan dengan Islam. Padahal Islam yang menyeluruh, tidak ada pemisahan, seluruh aspek kegiatan hidup ini akan bernilai ibadah selama itu dikerjakan dengan niat semata-semata karena kecintaan kepada Allah. Dan banyak di kalangan kita merasa minder dan asing dengan ajaran Islam, merasa malu tampil dengan syariat Islam, sehingga prinsip "Isyhadu bi anna muslimin" (saksikanlah saya ini orang Islam) belum mampu untuk kita sandang.

  3. Taqlid

Kecenderungan taqlid buta, yakni mengikuti segala sesuatu tanpa pemahaman. Karena tidak memahami Islam yang benar, maka ketika muncul pemasok-pemasok nilai yang bukan dari Islam, maka bagai menco (beo) kita mau saja mengambil nilai-nilai tersebut. Ketidak mau tahuan kita akan syariat agama ini, akhirnya melahirkan ‘budaya meniru’ (pakaian, mode rambut, pergaulan, perayaan valentine day, dan semua acara non Islam). Padahal Allah telah memberi peringatan mengenai hal ini, silakan pahami Al Isra : 36.

Ringkasnya, siapapun yang keberatan dengan hukum dan undang-undang Allah, berarti ia tak mempunyai keimanan sebagai sumber kecintaan kepada Allah. Semakin kuat imannya, semakin erat pula cintanya kepada Allah. Karena seorang mukmin sejati ialah orang yang telah mencapai ketinggian dan kebesaran Ilahi, merasakan keberadaan dan kebaikan-Nya. Ia tahu dengan penuh kesadaran, Allah menganugerahkan nikmat yang tak ternilai jumlahnya. Pengetahuan atas hal itu membekas dalam jiwanya, yang akhirnya membukakan kecintaannya kepada Allah. Hatinya senantiasa rindu kepada Allah, segenap perbuatannya dihadapkan sebagai suatu kelezatan hidup. Yang demikian itu menumbuhkan sikap ridha, pandangan yang terang dan cerah, serta hati yang tentram. Hingga baginya tiadalah sesuatu kemenangan yang paling besar, melainkan menaati Allah dan Rasul-Nya sepenuh jiwa raganya (Al Ahzab : 71).

*****

Semoga tulisan di atas ada manfaatnya bagi kita, dan makin bertambah pula ilmu dan keimanan di dalam akal dan kalbu kita. Yang perlu ditekankan adalah bila kita ingin mencintai sesuatu (harta, ilmu, pria/wanita idaman, keluarga, diri kita, dll) maka kita harus pula menyukai dan mencintai pemiliknya. Apabila kita ingin dicintai (sesuatu) kita pun harus mencintai pemilik sesuatu tersebut dan penguasa cinta. Semoga kita dapat menjadikan tulisan ini sebagai bahan renungan.

Abdullah Lennono

7-9 Feb 2000

Sumber :

  1. Al Mukaffi, Abdurrahman. Pacaran dalam Kacamata Islam, Jakarta, Media Dakwah, 1998

  2. Agenda Al Mizan (agenda penulis)

  3. Al Qur’anul Karim

 

 

<<  back to ISHLAH